Syamsuddin Sumatrani
A.
Biografi
Sejak lama Aceh telah dikenal
sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol.
Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana,
ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama
semisal Samsuddin Sumatrani.
Syamsuddin Sumatrani adalah salah
satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada
wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali
untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan
otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk.
Bahkan tidak kurang peneliti seperti
Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya,
merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai tokoh sufi yang satu
ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin
Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun
tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari
serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita
untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.
Mengenai asal-usulnya, tidak
diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani
yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya
kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra
ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni
Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.
Menurut para sejarawan, penisbahan
namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra).
Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di
Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang
ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal
dan dikuburkan di sana.
Berbicara tentang peranan Sumatra
sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih
dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu
terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum akhirnya Pasai
dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan
Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524.
A.
Peranan dan Pengaruhnya
Pada masa pemerintahan Sayyid
Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan
sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan
bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling
dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat
dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada
tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya
ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam
lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani adalah satu
dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar
dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh
pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama
tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin
Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya
hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya
disinggung seperlunya.
Mengenai hubungan Hamzah Fansuri
dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin
Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan
ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan
(syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin
Sumatrani itu adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan
Tongkol.
Adapun hubungannya dengan Nuruddin
ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh
tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti
sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan
Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya
yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani,
maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak
penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki
dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak
punah semuanya.
Pada kisaran tahun 1644 Raniri
disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun
terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam
Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada
Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham
wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman
kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu
kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam.
B.
Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya
sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari
karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin
Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian
berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya
yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
- Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
- Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
- Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).
- Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
- Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.
- Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
- Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
- Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
- Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.
D. Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai
seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan
mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri
sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak
pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham
wahdatul wujud.
Dari hasil penelitian WC. Chittick,
Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan
istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu
istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang
menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya
dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w.
728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.
Di antara kaum sufi yang mengikuti
jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran
Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat
dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah,
yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa
kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula
(al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah)
kecuali Allah.
Sementara bagi salik yang sudah
berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami
dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah.
Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha),
kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud
kecuali Allah.
Namun ia mengingatkan bahwa terdapat
perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid
yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum
zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang
nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah,
yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat
bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki
perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq
alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam
kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam adalah
wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari
segi penampakannya).
Jadi para penganut paham panteisme
itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat
dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat
alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan
ditolak oleh para penganut tauhid yang benar.
Bagi Syamsuddin Sumatrani,
sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu
pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala
sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh
Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam
itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena
wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).
Dengan demikian martabat Tuhan
sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai
martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya:
I’lam, ketahui olehmu bahwa
(se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat
ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat
alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh
martabat alam insan.
Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah
Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia
itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam
‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam
arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat)
segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam
insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah
dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam
ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.
Atas uraian Syamsuddin Sumatrani
tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat
pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud
aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat
anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.
Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah
qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat
martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu
pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas
dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami
bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang
martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar