A.
Riwayat hidup
Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan,
ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu
pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad
Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku
memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama (Piah
dkk., 2002: 59-60).
1.
Ilmu Yang Dikuasainya
Nuruddin adalah seorang yang berilmu
tinggi, yaitu orang yang pengetahuannya tak terbatas dalam satu
cabangpengetahuan saja. Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah,
politik, sastra, filsafat, fikih, tasawwuf, perbedaan agama, dan sufism. ia
menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanul
Salatin". Namanya kini diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama (IAIN)
di Banda Aceh.
Beliau di katakan telah berguru
dengan Sayyid Umar Abu Hafis Abdullah Basyeiban yang yang di India lebih
dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus kerna adalah khalifah Tariqah Al-Idrus
Alawi di India. Ar-Raniri juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dan Qadariyah
dari gurunya.
Putera Abu Hafs yaitu Sayyid Abdul
Rahman Tajudin yang datang dari Balqeum, Karnataka, India pula telah menikah
setelah berhijrah ke Jawa dengan Syarifah Khadijah, puteri Sultan Cirebon dari
keturunan Sunan Gunung Jati.
Nuruddin mula-mula mempelajari
bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan
ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah, ia mendapati bahwa pengaruh
Syamsuddin as-Sumatrani sangat besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran
wujudiyah yang disebarkan oleh Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin pindah ke
Semenanjung Melaka dan memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu di sana.
3.
Selama di Semenanjung Malaka
Selama tinggal di semenanjung,
Nuruddin menulis beberapa buah kitab. Ia juga membaca Hikayat Seri Rama dan
Hikayat Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan tajam, serta Hikayat
Iskandar Zulkarnain. Ia juga membaca Taj as-Salatin karya Bukhari al-Jauhari
dan Sulalat as-Salatin yang populer pada masa itu. Kedua karya ini memberi
pengaruh yang besar pada karyatamanya sendiri, Bustan as-Salatin (Piah dkk.,
2002: 60)
4.
Kembali Ke Aceh
Pada tahun 1637 ia kembali ke Aceh
dan tinggal di sana selama tujuh tahun. Saat itu Syeh Syamsuddin as-Sumatrani
telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani
(1636-1641) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh
Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh
di Masjid Bait al-Rahman.
Pada saat ia berjaya sebagai pejabat
kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf as-Singkili, ia melakukan
gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan
Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi itu dibakar dan para
penganut aliran wujudiyah dituduh murtad serta dikejar-kejar karena dituduh
bersekongkol untuk membunuh istri Sultan, Ratu Safiatun Johan Berdaulat.
Keadaan berbalik melawan Nuruddin
ketika Sultan Iskandar Tani mangkat dan digantikan oleh istrinya, Sultanah
Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1675). Polemik antara Nuruddin dan aliran
wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang adalah seorang tokoh yang
namanya sama dengan salah satu karya Hamzah Fansuri, yaitu Saif ar-Rijl, yang
berasal dari Minangkabau dan baru kembali ke Aceh dari Surat (Braginsky, 1998:
473). Saif ar-Rijl mendapat dukungan sebagian besar kalangan Aceh, yang merasa
tidak senang dengan besarnya pengaruh orang asing di istana Aceh. Untuk
menyelesaikan pertikaian itu mereka mencari nasihat sang ratu, tetapi sang ratu
menolak dengan dalih tidak berwenang dalam soal ketuhanan.
Sesudah berpolemik selama sekitar
satu bulan, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh dengan begitu tergesa-gesa,
sehingga ia tidak sempat menyelesaikan karangannya yang berjudul Jawahir
al-‘Ulum fi Kasyfi al-Ma‘lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan)
(Takeshi Ito, 1978: 489-491; via Braginsky, 1998: 473-474). Nuruddin akhirnya
ia kembali ke Ranir. Ia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 21
September 1658 (Piah dkk., 2002: 60).
B. Pemikiran
1. Teologi
Mungkin yang diingat orang ketika
pertama kali membicarakan Nuruddin al-Raniri adalah pertentangannya dengan
aliran wujudiyah, yang disebarkan oleh penyair sufi Hamzah Fansuri dan para
pengikutnya. Berkat kedekatannya dengan Sultan Iskandar Tani, Nuruddin berhasil
menggerakkan kekuatan militer untuk memberantas aliran yang dihujatnya sebagai
penyimpangan itu.
Kegigihan Nuruddin dalam memberantas
gerakan wujudiyah adalah konsekuensi logis dari penalarannya dalam bidang
teologi. Ia memang dikenal sebagai seorang ortodoks dan bersemangat besar dalam
memurnikan ajaran Islam. Dalam Sirat al-Mustakim, ia berkomentar dengan nada
sinis tentang Hikayat Inderaputera. Menurutnya, seperti juga Hikayat Seri Rama,
hikayat ini dapat digunakan di dalam jamban saja, oleh karena di dalamnya nama
Allah tidak disebut-sebut (Braginsky, 1998: 293).
Nuruddin menulis beberapa kitab
khusus untuk melawan premis-premis wujudiyah, antara lain Hill az-Zill (Sifat
Bayang-bayang), Syifat al-Qulb (Pengobatan Hati), Tibyan fi Ma‘rifat al-Adyan
(Penjelasan tentang Kepercayaan), Hujjat al-Siddiq li Daf az-Zindiq (Pembuktian
Ulama dalam Membantah Penyokong Bidah), Asrar al-Insan fi Ma‘rifat ar-Ruh wal
ar-Rahman (Rahasia Manusia dalam Pengenalan Ruh dan Yang Maha Pengasih).
Posisi teologis Nuruddin dapat
dilacak hingga seorang sufi India yang terkenal, Ahmad Sirhindi (1593-1624),
walaupun seakan-akan tidak ditemukan petunjuk tentang hal ini. Karena,
pandangan Nuruddin umumnya sangat dekat dengan aliran wahdat asy-syuhud yang
dikembangkan oleh Sirhindi. Yang mendekatkan dua tokoh sufi ini adalah
kecenderungan mereka yang mencolok pada hukum syariat ketimbang pada pengalaman
ekstasis, penarikan garis tegas antara Yang Maha Esa dengan dunia, dan kritik
mereka yang tajam terhadap kecenderungan sifat-sifat bidah dalam tasawuf,
antara lain sifatnya yang dalam anggapan mereka panteistis (Farman dalam via
Braginsky 1998: 472).
Dalam Hujjat al-Siddiq Li daf
al-Zindiq (Dalil orang Benar untuk Menolak Itikad Orang yang Zindiq), Nuruddin
berpendapat bahwa wujud Tuhan adalah wujud yang hakiki, sementara segala yang
lain, karena diciptakan dari ketiadaan (atau ketidakadaan), tidak mungkin
menjadi analogi dari wujud yang hakiki itu. Membadingkan kedua wujud itu adalah
perbuatan yang murtad. Nuruddin juga menyatakan bahwa Yang Ilahi adalah wujud
yang pasti, sementara eksistensi dunia hanyalah merupakan salah satu saja dari
potensi eksistensi. Tuhan adalah sang pencipta, dunia adalah ciptaan-Nya. Tidak
membedakan di antara Tuhan dan dunia akan menimbulkan kebingungan di antara
kaum Muslim dan menyimpang dari wahyu dan akal sehat (Piah dkk., 2002: 365).
Selain itu, Nuruddin juga menulis
sebuah kitab berjudul Jawahir al-‘Ulum fi Kasyfi al-Ma‘lum (Hakikat Ilmu dalam
Menyingkap Objek Pengetahuan). Di dalam kitab ini, ia berpendapat bahwa Tuhan
adalah satu-satunya realitas yang hakiki. Zat Tuhan dinyatakan dengan nama-nama
suci Allah (Asmaul Husna). Ada banyak nama yang digunakan oleh manusia untuk
merujuk pada sifat-sifat Tuhan Yang Maha Sempurna. Sifat-sifat ini tidak dapat
dipisahkan dari zat Tuhan, walaupun dalam pikiran manusia sifat-sifat itu
tampak berbeda. Memisahkan antara zat hakiki Tuhan dengan sifat-sifat-Nya
adalah perbuatan yang paling murtad, karena hal itu berarti menyangkal keesaan
Tuhan (Ahmad Daudy dalam Piah dkk., 2002: 367).
Selanjutnya, Nuruddin memberikan
daftar Sifat-sifat Ilahi, yaitu qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafah
al-hawadits (berbeda dengan makhluk), qiamuhu bi nafsih (berdiri sendiri), dan
wahdaniyah (tunggal). Sifat-sifat Ilahi (berdasarkan analogi) ada tujuh, yaitu
al-hayat (hidup), al-ilmu (mengetahui), al-qudrah (kuasa), al-iradah
(kehendak), al-sama‘u (mendengar), al-basaru (melihat), dan al-kalamu
(berbicara). Dari sifat-sifat ini muncullah sifat ma‘nawiyah, yaitu al-Hayatu
(Yang Maha Hidup), al-‘Alimun (Yang maha Mengetahui), al-Qadiru (Yang Maha
Kuasa), al-Muridu (Yang Maha Berkehendak), al-Sami‘u (Yang Maha Mendengar),
al-Basiru (Yang Maha Melihat), al-Mutakallimu (Yang Maha Berfirman). Dari
sifat-sifat ma‘nawiyah ini lahirlah sifat-sifat fi il yang mempunyai hubungan
dengan alam makhluk, antara lain al-Khaliq (Sang Maha Pencipta), al-Raziq (Sang
Pemberi Rezeki), al-Hadi (Sang Pemberi Petunjuk), al-Muhyi (Yang Maha
Menghidupkan), al-Mumit (Yang Maha Mematikan), dan lain-lain (Ahmad Daudy 1983:
94-95 via Piah dkk., 2002: 366).
Dalam karya-karya polemiknya
terhadap Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin selalu menuduh
mereka sebagai pendakwah ajaran-ajaran bidah yang sesat, bahwa Allah bersifat
imanen belaka, tidak transenden, dan dunia ini kekal. Menurut Nuruddin, mereka
juga tidak mengakui bahwa Al-Quran tidak bersifat makhluk, yaitu tercipta.
Lebih dari itu semua, demikian menurut Nuruddin, mereka bahkan mendewakan diri
sendiri, dengan penegasannya bahwa tidak ada perbedaan antara mereka dan Allah.
Lebih lanjut Nuruddin berusaha membuktikan, bahwa ajaran mereka sama dengan
Zoroasterisme dan agama Kristen, dengan Vedanta Hindu dan Buddhisme Mahayana di
Tibet, dengan Kadariyyah, Mutazillah, dan doktrin “falasifah” (Braginsky, 1998:
472).
Uraian Nuruddin tentang
konsep-konsep Hamzah Fansuri dan Syamsuddin dikemukakan dalam bentuk
pemutarbalikan dan bernada karikatural. Sementara itu Nuruddin, seperti halnya
kalangan pengikut awam wujudiyah, tidak selalu bisa memahami istilah-istilah
campuran Arab-Melayu yang digunakan lawannya. Misalnya, bagi Nuruddin sama
sekali tidak jelas masalah perbedaan, yang dalam peristilahan Hamzah bersifat
mendasar, yaitu antara istilah Melayu “ada”, yang merujuk pada eksistensi luar
(wahmi), dan istilah Arab “wujud”, yang sesuai dengan eksistensi dalam (hakiki)
(Attas dalam Braginsky, 1998: 472).
Walaupun sepintas lalu lawan-lawan
ideologi utama Nuruddin adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, tetapi
sesungguhnya ia pun lebih menentang para pengikut mereka yang memang besar
pengaruhnya dikalangan rakyat dan penguasa Aceh. Dalam hal ini, Nuruddin tidak
hanya hendak mempertahankan kemurnian Islam semata-mata (Braginsky, 1998: 472),
tetapi agaknya juga ingin merebut dan mempertahankan tempat di sisi Sultan
Iskandar Tani.
Selama beberapa saat, Nuruddin
berhasil membungkam aliran wujudiyah. Tetapi aliran itu bangkit kembali di Aceh
tak lama setelah Sultan Iskandar Tani mangkat, dan akhirnya bahkan tersebar
hingga ke daerah-daerah lain, seperti Jawa, yang kemudian memperoleh bentuk
sebagai doktrin manunggaling kawulo gusti (Teeuw, 1994: 67).
2. Sejarah
Dalam bidang sejarah, sepak terjang
Nuruddin tidak “seberingas” dalam bidang teologi. Bustan as-Salatin karangannya
adalah karyatama historiografi yang menjadi dokumen penting tentang kesultanan
Aceh. Karya ini merupakan titah dari Sultan Iskandar Tani. Walaupun dibebani
oleh kewajiban untuk mengagungkan sang patron, tetapi pencapaian intelektual
ini mengandung juga nilai-nilai historis dan sastrawi yang tinggi. Selain itu,
kitab ini juga berbeda dari kitab-kitab sejarah Melayu yang lain pada masa itu
terutama karena tidak lagi memasukkan mitos dan legenda.
Bustan as-Salatin ditulis antara
tahun 1638-1641 dan terbagi ke dalam tujuh bagian dan terdiri dari empat puluh
bab.
Bagian 1 terdiri dari tiga bab, yang
membahas tentang Bumi dan ketujuh petala langit, Nur Muhammad, janji Tuhan
terhadap seluruh umat manusia, arasy (tahta) Tuhan, dan sebagainya.
Bagian 2 membahas tentang sejarah nabi-nabi
dan raja-raja. Dua bab terakhir pada bagian ini ditekankan pada Semenanjung Melaka
dan Sumatra. Bab 12 diadaptasi dari Sejarah Melayu dan diakhiri dengan
pembahasan tentang penobatan Sultan Iskandar Tani yang megah. Bab 13 membahas
tentang sejarah raja-raja Aceh.
Bagian 3 menceritakan tentang para
raja yang adil dan wazir yang bijak.
Bagian 4 membatas tentang raja-raja
Muslim yang saleh dan para pahlawan Muslim.
Bagian 5 menceritakan tentang
raja-raja yang bengis dan para bangsawan yang dungu yang berusaha memberontak
kepada raja mereka.
Bagian 6 terdiri dari dua bab dan
bercerita tentang orang-orang yang mulia dan rendah hati serta para pendekar
yang gagah berani.
Bagian 7 membahas beragam topik,
seperti kebijaksanaan, pengetahuan, pengertian, ada kaum wanita, dan mencakup
juga beberapa cerita hantu yang ganjil dan menarik.
Ketika menulis Bustan as-Salatin,
Nuruddin berusaha keras agar karya ini dapat menyamai atau bahkan melebihi
kitab legendaris Taj as-Salatin—ia memang gemar berpolemik, seperti yang
terlihat dalam karya-karya polemisnya dengan aliran wujuidyah yang cukup
banyak. Karena itulah tema-tema dalam kedua kitab ini hampir sama, tetapi
Nuruddin menambahkan pembahasan yang luas tentang sejarah lokal. Nuruddin juga
berusaha mengikuti jejak Tas as-Salatin dengan menggunakan bentuk sajak yang
diambil dari khasanah Persia, yaitu syair, seperti terlihat pada bait dari bab
13 Bagian 2 ini: Ialah perkasa terlalu berani, Turun-temurun nasab Sultani,
Ialah menyunjung inayat rahmani, Bergelar Sultan Iskandar Tani. (Braginsky,
1998: 335)
Menilik isinya, Bustan as-Salatin
merupakan sebuah gubahan ensiklopedis yang menggabungkan genre “sejarah
universal” dengan “cermin didaktis”. Karangan ini begitu besar sehingga tidak
tersimpan sebuah pun naskah yang mengandung semua babnya. Biasanya
naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab tertentu (Braginsky, 1998:
336).
Bustan memberikan gambaran tentang
Aceh pada abad ke-17, walaupun Nuruddin sama sekali tidak menyebutkan tentang
Hamzah Fansuri—tetapi Nuruddin menyebutkannya dalam beberapa kitab lain. Namun,
kitab ini sering dianggap gagal dan tidak mampu menyamai kebesaran Taj
as-Salatin.
Jika dibandingkan, maka Taj
as-Salatin adalah sebuah kitab teologis-etis. Maka yang ditunjukkan oleh kitab
ini adalah, bagaimana hukum Ilahi menegakkan harmoni dunia, yang di dalam
kehidupan masyarakat diwujudkan dalam pemerintahan yang bersendi atas akal dan
keadilan. Perjalanan sejarahnya pun, misalnya dalam hal genealogi raja-raja
Iran sebelum Islam, pada hakikatnya tidak lain merupakan ilustrasi untuk
konsepsi etika yang dirumuskan oleh Bukhari al-Jauhari, sang pengarangnya.
Melalui perumusan itu, bangsa Melayu diberi kemungkinan untuk masuk ke dalam golongan
Islam yang berbudaya.
Adapaun Bustan as-Salatin adalah
sebuah kitab yang bersifat teologis-historis. Di dalamnya dilukiskan gambaran
dinamis tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan proses itu, yaitu
sejarah dunia, namun terutama sejarah dunia Islam. Pada pasal-pasal terakhir
bab sejarahnya, Bustan dengan tegas memasukkan sejarah bangsa Melayu ke dalam
sejarah dunia yang dipaparkan sebelumnya. Dengan demikian ia seakan-akan
menamatkan pekerjaan yang dimulai oleh pengarang Sejarah Melayu, yang kroniknya
dari versi tahun 1612 diketahui dengan baik oleh syek kelahiran Gujarat ini
(Braginsky, 1998: 339).
Berdasarkan uraian tersebut, dunia
Melayu, melalui sejarahnya yang bermula dari Iskandar Zulkarnain, mempunyai
akarnya di dalam sistem budaya Islam. Barulah kemudian kepada bangsa Melayu
dianjurkan konsepsi tentang etika sosial, tingkah laku raja-raja dan
pembesar-pembesar negara, seperti yang yang diceritakan dalam Tas as-Salatin,
juga tentang dasar-dasar pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam.
C.
Karya
Secara keseluruhan, Nuruddin Ar-Raniri menulis sekitar dua
puluh sembilan naskah, di antaranya adalah: Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin
Ar-Raniry:
1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim
(1634)
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh
al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635)
3. Kitab Hidayat al-habib fi al
Targhib wa’l-Tarhib (1635)
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi
dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638)
5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill
ma’a shahibihi 6. Kitab Latha’if al-Asrar
7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat
al-Ruh wa al-Rahman
8. Kitab Tibyan fi ma’rifat
al-Adyan
9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal
al-Qiyamah
10. Kitab Hill al-Zhill
11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl
al-Mamat
12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi
Kasyfi’l-Ma’lum
13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an
Yukhlaq
14. Kitab Syifa’u’l-Qulub
15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I
al-Zindiq
16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin
‘a’l-Mulhiddin
17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man
Qala bi Khalg al-Qur-an
18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li
Qath’I al-Zindiq
19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi
Thariq al-Shufiyyah.
20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat
wa’l-Ardh
21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
22. Kitab Hidayat al-Iman bi
Fadhli’l-Manaan
23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat
al-Muwahhiddin
24. Kitab ‘Alaqat Allah
bi’l-‘Alam
25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan
Wahdat al-Wujud
26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan
Wahdat al-Wujud
27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil
laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li
Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
29. Kitab Syadar al-Mazid
D. Pengaruh
Walaupun dianggap lebih rendah
ketimbang Taj as-Salatin, Bustan as-Salatin adalah karyatama yang tetap dibaca
orang bahkan setelah Nuruddin meninggal. Kitab ini kemungkinan besar juga
mempengaruhi pengarang Hikayat Hang Tuah karena pelukisan tentang taman istana
Istanbul di dalam karya itu mengambil contoh dari pelukisan Nuruddin tentang
taman istana Sultan Iskandar Tani (Piah dkk., 2002: 440).
Selain itu, posisi Nuruddin
Ar-Raniri yang cenderung pro-hukum syariat ketimbang pengalaman ekstasis dalam
pengalaman ilahiah masih dapat dilihat juga dalam pertentangan antara,
misalnya, Wali Songo di Jawa dengan paham manunggaling kawulo gusti di Jawa,
yang disebarkan oleh sosok semi-mitis Syeh Siti Jenar. Sedangkan gaya
historiografinya yang tidak lagi memperhitungkan mitos dan legenda secara ketat
adalah gaya penulisan yang merupakan alternatif segar bagi historiografi
Islam-Melayu, yang baru dipraktekkan lagi secara utuh pada masa modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar